Sabtu, 28 Februari 2009

Indra Jaya Piliang, dari Pengamat Ingin Jadi Penikmat


POLITIK memang gurih. Profesi ini banyak mengubah banyak orang, dari bukan apa-apa menjadi berharga. Terkenal, berpengaruh dan berkantung tebal. Boleh jadi ini pula yang membuat Indra Jaya Piliang, pengamat politik CSIS, hijrah ke dunia politik. Idra memilih menjadi politisi. Ingin jadi penikmat?

Kini Indra tercatat sebagai calon anggota DPR RI Nomor Urut 2 dari Partai Golkar. Indra dipasang di Daerah pemilihan Sumatera Barat 2 yang meliputi Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat.

Menilik ucapan-uvcapan dan goresan pena Indra, putra Minang ini sejatinya memasuki dunia hingar bingar politik karena ingin menegakkan prinsip-prinsip politik yang benar. Dan kini ia sibuk berkampanye. Bahkan, selain sebagai Caleg, Indra juga terpilih sebagai juru debat Partai Golkar oleh Tim Kajian Strategis dan Pencitraan Bappilu Partai Golkar.

"Telah enam bulan saya berjalan. Berpidato di banyak tempat, berdiskusi dengan beragam lapisan masyarakat, mencoba melawan arus politik lama yang penuh dengan permintaan atas uang, sembari mencoba cara sendiri untuk menunjukkan apa itu politik," kata Indra menyampaikan kesannya. 

Indra bilang tak pernah takut gagal. "Ketakutan utama saya adalah generasi muda di bawah saya nanti tetap terbelit dengan metoda peraihan kekuasaan politik dengan jalan-jalan pintas." 

Indra tidak memikirkan keberhasilan. Setiap hari adalah bagaimana mengontrol hati, pikiran dan perasaan, dalam menghadapi beragam bentuk perseteruan politik. "Saya meniti lagi arus deras politik dan mencoba untuk tidak tenggelam. Mungkin, ada banyak yang terkejut dengan kehadiran saya di dunia politik, baik di kampung atau di tempat lain," katanya. 

Indra menyatakan; "Saya berani mengatakan 'Tidak!' kepada bentuk-bentuk permintaan yang tidak masuk akal."  

Ia mengaku mendapat dukungan dari kalangan pemuda. Mereka menjadi sangat militan. Cara berpikir mereka berubah atas tujuan-tujuan hidup dan politik. "Saya tidak menyangka bisa menyaksikan diskusi terjadi di kalangan adik-adik yang tidak tamat SMA, tamat SMA sampai baru mulai menyelesaikan kuliahnya. Saya tercengang dengan kemampuan mereka menghadapi dan menganalisa keadaan," katanya.  

Menurut Indra, pertarungan politik adalah bagaimana ide-ide lama ditolak dan ide-ide baru diterima. "Maka saya tidak melihat siapa yang bicara, tetapi apa yang dia bicarakan. Boleh saja usianya tua dan mengaku berpengalaman dalam politik, tetapi ketika orang itu tidak juga bersedia menerima ide-ide baru yang lebih genuine, bagi saya orang itu layak untuk hanya ditemui sesekali," katanya.  

"Tidak banyak yang saya pikirkan lagi," kata Indra. "Kecuali agar adik-adik ini menemukan ritme yang tepat dalam memikirkan masa depan buat mereka sendiri." 

"Enam bulan yang singkat," kata Indra lagi. "Ya, mungkin anda berpikir saya tidak peduli dengan terpilih atau tidak. Tidak. Tentu saya ingin terpilih. Yang saya harapkan, perubahan yang sedikit demi sedikit itu berlanjut, sehingga bangunan generasi baru yang matang untuk menjalankan kehidupan di masyarakat, bangsa dan negara ini benar-benar siap." 

Makanya, kata Indra; "saya tidak terlalu berpikir tentang siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden tahun 2009-2014 ini. Yang layak dipikirkan adalah munculnya pembaruan dalam proses suksesi tahun 2014, tahun 2019, tahun 2024 dan seterusnya."  

Pulang Kampung
Indra hijrah ke dunia politik sejak 6 Agustus 2008. "Saya menjadi satu di antara puluhan ribu politisi yang mencoba melakukan sesuatu, sesedikit apapun".  

Indra kini pulang kampung, ke Sumatera Barat, setelah 17 tahun merantau. Kali ini, barangkali bukan menyandang prediket intelektual, tetapi politisi yang baru belajar menjadi politisi.  


Tentang Indra 
Indra Jaya Piliang lahir di Pariaman, Sumatera Barat, pada 19 April 1972. Indra adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Boestami dan Yarlis. Sang ayah, bergelar Datuak Nan Sati. Suku ayahnya Koto. Sang ibu, Yarlis dari suku Piliang. 

Koto dan Piliang adalah rumpun suku utama di Minangkabau. Lareh Koto Piliang adalah sistem sub-budaya dalam budaya Minangkabau yang didirikan oleh Datuk Ketumanggungan, menganut sistem aristokrasi militeristik dalam pengambilan keputusan dan pemerintahan tempo doeloe.

Suami Faridah Thulhotimah ini memiliki dua orang putra, Afzaal Zapata Abhista (21 Juni 2003) dan Fadha Dang Sati Ababil (03 April 2008). 

Indra menamatkan kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selanjutnya ia meneruskan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 

Selama kuliah, ia aktif dalam Studi Klub Sejarah dan pernah menjadi Ketuanya. Pernah juga menjadi Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI dan pengelola Tabloid Ekspresi FS-UI. 

Di UI, Indra aktif pada majalah Suara Mahasiswa UI, Senat Mahasiswa UI, Senator Badan Perwakilan Mahasiswa UI, Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya dan pernah ikut latihan marching band Madah Bahana. Ia juga sempat menjadi redaktur pelaksana Surat Kabar Kampus Warta UI.

Sebagai aktivis kampus, Indra juga menjadi pendiri dan Sekjen Pertama Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia (IKAHIMSI) periode 1995-1997. Ia juga tercatat sebagai pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) bersama Ubaidillah, Henky, Danar, dll. 

Ia juga pernah tercatat sebagai Koordinator Wilayah A (Sumatera dan Jawa) Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Indonesia (FKSMI) yang dibentuk di Universitas Mulawarman, Samarinda, pada 1995. 

Dalam organisasi intra kampus, Indra juga sempat aktif di Forum Amal dan Studi Islam (Formasi) Fakultas Sastra UI, yakni sebagai Ketua Badan Pertimbangan (Majelis Syuro). Indra juga tercatat sebagai anggota dan pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok.

Dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan itulah Indra mendapatkan teman, sahabat dan juga musuh. Sebagai aktivis, ia bepergian ke pelbagai tempat, bersidang, berdebat dan merumuskan pikiran-pikiran khas kemahasiswaan. Begitulah. Dan tiba-tiba ia menemukan diri sebagai seorang penulis, peneliti dan analis, terutama untuk bidang-bidang politik. 

Namun, kecintaannya kepada kampung halaman dan sikap kritisnya atas kota, juga muncul dalam tulisan-tulisannya. Ia mulai menggeluti masalah-masalah Aceh dan Papua, bahkan juga tertarik mengeksploirasi Bali dan Riau. Dalam aspek yang lebih luas, ia meminati masalah-masalah yang berkaitan dengan otonomi daerah.

Ketika mahasiswa, ia dikenal memiliki sikap anti-kemapanan. Sesuatu yang dianggap kekiri-kirian atau kemerah-merahan. Tetapi ia juga dianggap kehijau-hijauan. Ia terkadang lebih suka disebut seperti semangka: hijau diluar, merah di dalam.lihat juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar