Sabtu, 28 Februari 2009

Eggi: Dari Parlemen Jalanan ke Parlemen Beneran


oleh Miftah H. Yusufpati

GAGAL beberapa kali menjadi anggota legislatif melalui partai politik tampaknya membuat Dr. H. Eggi Sudjana, SH.Msi, memilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kini ia sibuk kampanye di daerah pemilihan Jawa Barat. 


Eggi pada 1999 tercatat sebagai pengurus Partai Bulan Bintang (PBB). Hanya saja, aktivis yang sering menyuarakan aspirasinya di jalanan ini, melalui demo, gagal ke Senayan karena kurang dukungan. Pada 2004 ia beralih ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kali ini, Eggi gagal lagi. Yah, gagal lagi, gagal lagi..!

Ini jelas mengecewakan, padahal Eggi sangat berkeinginan untuk mewakili daerahnya, Jawa Barat. Eggi ingin ikut andil dalam membenahi bangsa yang carut-marut ini. 

Boleh jadi inilah yang membuat Eggi tak memadamkan bara semangat untuk ke Senayan. Kini, Eggi bersiap menjadi senator. 

Dia bilang, tak tertarik lagi menjadi anggota DPR-RI. Ia memilih menjadi calon anggota DPD, karena ia ingin ikut membenahi lembaga DPD. "Peran DPD belum signifikan dan tidak menggigit," katanya, kepada KontekAja, suatu ketika. "Padahal DPD merupakan salah satu bagian penting dari Bangsa Indonesia. Nah, inilah yang harus dibenahi." 

Eggi tak tertarik lagi menjadi anggota DPR, lantaran citra lembaga ini sudah terpuruk di mata masyarakat. "DPR sudah tidak baik dan mekanisme rekrutmennya juga buruk, sehingga peluang untuk korupsinya tetap tinggi. Jadi saya tidak mau menambah deretan koruptor," katanya. "Sidang-sidang dapat duit dari ini, dari itu. Jadi kita susah menghindar. Kalau diperiksa akan kena semua." 

Jika terpilih, Eggi bercita-cita, memperjuangkan DPD melahirkan produk hukum. "DPD itu lembaga tinggi negara. Anggota DPD itu sekaligus juga anggota MPR. Maka pada sidang-sidang lima tahunan itu, kan, kita bisa membuat rumusan hukum. Bahkan bisa juga mengamandemen UUD juga."

Dia mengatakan, kewenangan DPD memang terbatas tapi dapat disiasati."Saya berpikir begini, ketika saya tidak punya kekuasaan saja berani melawan rezim yang sedang berkuasa, apalagi saya mempunyai kekuasaan."  

"Dalam arti, kalau takdirnya bagus, saya jadi Ketua DPD, misalnya, saya bisa memanggil Presiden. Pada setiap 16 Agustus, kan ada pidato kenegaraan oleh Presiden. Di situ ada kesempatan besar untuk memberikan masukan dan kritik. Bahwa Bapak Presiden harus begini, kalau nggak begini, mungkin akan terjadi pemberontakkan, misalnya karena saya wakil daerah. Nah, yang seperti ini tidak pernah tersuarakan oleh siapun. Ginandjar nggak sanggup, nggak bisa, karena dia track recordnya bukan aktivis." 

Menurut Eggi, yang utama kini adalah menciptakan hukum dengan aturan-aturan baru yang kondusif untuk mensejahterakan rakyat. Masalah kendala DPD dengan kewenangannya yang terbatas, bisa disiasati dengan melakukan berbagai manuver politik. 

"Manuver saya sebagai seorang aktivis, saya akan panggil Gubenur atau Kapolda, Nah, kalau dibilang ini kan nggak ada aturannya, justru nggak ada aturannya, kemudian saya melanggar apa? Jadi, ya, saya panggi aja. Kan, nggak ada aturannya" ucap Eggi Sudjana. 

Tiga Pilar
Mengenai amademen terhadap UUD 1945, menurut dia sudah tepat, karena itu prosedural. Tapi yang tidak dilakukan DPD saat ini adalah cara-cara seperti penyambung aspirasi rakyat dari daerah yang diwakilinya. Hal tersebut yang belum jalan. Mereka sudah duduk di DPD, kurang memperjuangkan daerahnya. Seharusnya kearifan lokal dari daerah itu yang dimunculkan.

"Saya Jawa Barat, maka saya akan bikin Jawa Barat daerah yang termaju. Nah, kalau DPD punya prinsip seperti saya, maka semua daerah di Indonesia tentu akan maju. Bagaimana agar termaju, maka akan dibuat kategori-kategori daerah termaju. Misalkan untuk hukum, ekonomi dan politik atau sebaliknya, semua itu dinilai. Seluruh komponen bangsa tidak bisa lepas dari tiga komponen ini."

"Argumentasi saya, ketika anda mau mengubah apapun, harus lewat kebijakan. Kebijakan bisa diambil melalui saluran politik. Setelah menjadi kebijakan, maka namanya menjadi hukum. Kemudian hukum menjaga ketertiban. Ekonomi adalah nadi hidup masyarakat semua. Kalau tidak diatur oleh tatanan hukum yang benar dan tidak melalui saluran politik yang benar juga, maka bisa terjadi chaos." 

Menurut Eggi, ketiga pilar ini harus menjadi simultan dan tidak boleh menjadi timpang. Dengan kata lain, dengan stabilitas politik yang bagus dan adanya kepastian hukum, maka ekonomi akan tumbuh dan berkembang.  

"Tiga kategori ini harus diukur pada setiap daerah. Termasuk hukum pidananya. Kenapa? Misalnya di Jakarta, kok, krimininalitasnya terus meningkat, tiap 4 jam sekali terjadi perkosaan, 2 menit sekali terjadi pencurian, mana perlu dipertanyakan peran polisi mengayomi dan melindungi masyarakat. Nah, ini saya panggil Kapolda," ungkap Eggi berapi-api. "Inilah fungsi DPD."

Jika terpilih nanti, kata dia, bila saat kunjungan kerja, ia akan menemui pejabat-pejabat daerah, seperti Gubernur, Kapolda, dan Bupati atau Walikota. Jadi, kata dia, tidak hanya secara formal, non formalpun bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat sebagai anggota DPD. 

"Atau saya inisiatif sendiri kunjungan. Saya akan datangi kantor Gubenur. Saya katakan kepada Gubenur bahwa saya wakil rakyat dari daerah sini. Mau begini-begini. Kenapa? Siapa yang nyalahi saya? Kalau saya disalahi, yang nyalahi itu yang paling salah, kan saya sedang membawa aspirasi masyarakat!" kata Eggi.

Banyak orang menyebut, pria kelahiran Jakarta, 3 Desember 1959 ini adalah tokoh yang multi dimensi. Selain sebagai Lawyer yang tangguh, ia adalah aktivis pergerakan. Ia juga politisi yang dikenal tegas dan tak segan-segan berseberangan dengan penguasa. 

Putra dari pasangan H. Sukarna dan Hj. Djudju Arsanah ini, juga tercatat sebagai dosen di beberapa Universitas. Lebih dari itu, ia adalah penulis buku yang sangat produktif.

Nama Eggi sempat menjadi “News Maker” saat mengungkap “Pemberian Mobil Jaguar kepada Kalangan Dalam Istana”. Berita ini sempat membawa sang aktivis ini harus diseret ke meja hijau dengan tentang Penghinaan terhadapa Presiden RI. Pada saat itulah ia justru mengajukan hak uji materil (judicial review) terhadap pasal penghinaan presiden itu ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, MK mencabut pasal 134 jo pasal 136 bis KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden RI dalam hukum Indonesia, yang sudah berumur 100 tahun.

Raja Demo
Lantaran seringnya berdemo, ada media yang memberi julukan pria Sumedang ini sebagai 'raja demo'. Dan Eggi memang sudah menjadi aktivis sejak masih bersekolah di SMP dengan mengikuti demostrasi Malari bersama dengan Hariman Siregar.  

Ia semakin terasah sejak memasuki bangku kuliah di falkutas hukum Univesitas Jayabaya. Mantan Ketua HMI Cabang Jakarta periode 1984-1985 ini juga termasuk menentang kebijakkan pemerintah ORBA pada tahun 1985 tentang penerapan azas tunggal Pancasila kepada seluruh organisasi massa. Ia juga tercatat sebagai ketua umum pertama PB HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), wadah anggota HMI yang menentang penerapan azas tunggal Pancasila) periode 1986 – 1988.

Lepas dari aktivis kemahasiswaan Eggi mendirikan PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia). Dalam organisasi ini ia menjadi presiden pertama periode 1998 – 2003 & periode 2003 – 2005. Jabatan dia kini adalah Ketua Dewan Syuro PPMI.  

Selain itu, Eggi juga ikut mendirikan dan menjadi Wakil Ketua FOSI (Forum Studi Islam) di tingkat pusat.  

Pria yang menguasai dua bahasa asing, Inggris adan Jerman ini, sangat mementingkan pendidikkan. Setelah menamatkan di S-1 di falkutas hukum Universitas Jayabaya pada tahun 1985, ia juga menjalani sudi di Techniche Universeteit Berlin, Jerman 1990 – 1991 untuk study sosiologi.

Pada 1994, Eggi menyelesaikan pendidikan S-2 di IPB untuk program study PSL (Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan) lalu dilanjutkan S-3 di perguruan tinggi yang sama program study PSL. Eggi lulus S3 tahun 2004.

Dosen tetap FH UIKA Bogor sejak tahun 1987 ini juga mengajar di Universitas Sahid Jakarta sejak tahun 2003. Kini Eggi sedang dalam proses pengajuan untuk mendapatkan gelar Profesor.  

Sebagai intelektual, Eggi banyak menulis buku terutama yang berkaitan dengan masalah pemikiran Islam, penegakkan Hukum, HAM serta buruh dan lingkungan.

Di luar itu, pada 1995-1997, Eggi menjabat sebagai Ketua Depart LH & HAM di CIDES, juga pernah dipercaya menjabat sebagai Managing Partnerts di Law Firm HSJ (Hamdan, Sudjana & Januardi) dan Partners dari tahun 2000 – 2003.

Sejak Maret 2004, Eggi mendirikan Law Firm sendiri dengan nama “Eggi Sudjana & Partnet". 


Peran Keluarga
Eggi mengakui karirnya yang sekarang dapat tercapai antara lain berkat dorongan sang istri, Dr. Asmini Budiani. Menurut Eggi, wanita yang dinikahi 1984 ini sangat berperan dalam kehidupannya. Tidak hanya sebagai istri, sangistri, juga sebagai partner dalam perjuangan karier serta membina dan mendidik anak-anak.

Eggi adalah bapak dari 5 orang anak. Berikut adalah putra-putri Eggi itu.

1. Muhammad Alfath Tauhidillah, sekarang semester terakhir di FISIP – UI
2. Hizbullah Assidiqi, mahasiswa Falk. Hukum – UI
3. Atieqah Asysyahidah, mahasiswi di Falk. Kedokteran – Univ. Yarsi.
4. Yusuf Mukhlisin, siswa SMP 1 Bina Insani
5. Jihar Gifari, siswa SD Bina Insani

lihat juga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar