Sabtu, 28 Februari 2009

Jusuf Rizal, Anak Buah SBY yang Caleg PAN


PRIA ini memang agak unik. Pada 2004 lalu, dia adalah Direktur Blora Center, satu kelompok relawan SBY-JK. Tapi urusan partai, Jusuf Rizal, SE, lebih memilih Partai Amanat Nasional (PAN). "Sejak 2004 saya sudah menjadi caleg PAN," kata putra Madura, 43 tahun lalu itu.

Pada saat ini Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) -- satu LSM yang mengawasi kinerja aparatur negara-- menjadi caleg DPR-RI partai matahari terbit itu untuk daerah pemilihan Malang, Jawa Timur. 

Mengapa pilih Malang? "Di sana, kan, 80 persen penduduknya suku Madura," katanya, kepada kontekaja, di kantor LIRA, Jakarta, belum lama ini.

Di ruang kerja Jusuf dipenuhi atribut kampanye. Ada kalender sampai bola voly. "Ini mau dibawa ke Malang untuk dibagikan ke konstituen," ucapnya.

Jusuf telah membuat sebuah posko di Kota Malang. Di sana para relawan JR, demikian dia disapa, menjaga posko tersebut. Hampir setiap hari posko selalu sibuk. Para relawan mendata dukungan dan membuat agenda kampanye untuk JR. Setiap hari Jumat JR ke Malang. Biasanya, dia baru balik ke Jakarta Senin.

Tapi, saat ditemui, JR baru saja pulang dari Palembang. "Meresmikan perwakilan LIRA di sana," katanya. Jadi JR memang benar-benar sibuk, selain mengurus kampanye, ia juga masih menggarap LSM-nya. Kini LIRA tercatat memiliki perwakilan di 25 provinsi di Indonesia dan seratusan perwakilan di kabupaten. Jadi wajar saja, hampir setiap pekan, JR keliling Indonesia. 

Kenapa tak membuat partai saja? "Nggak lah. Partai sudah banyak," katanya. "Lagi pula pengurus LIRA itu banyak juga dari partai. Ratusan anggota LIRA kini menjadi caleg di berbagai parpol," katanya terkekeh.

Jusuf optimistis mampu memenangkan pemilu mendatang. Caleg nomor urut 4 ini diuntungkan dengan sistem suara terbanyak. 

Lalu bagaimana dengan Pilpres mendatang? "Saya akan bangun lagi basis yang telah ada dalam Blora Center. Pengurus LIRA juga akan kami rekrut dalam relawan SBY. Saya masih yakin, SBY tetap diingini masyaraat. Jadi tetap mendukung SBY," katanya. lihat juga

Indra Jaya Piliang, dari Pengamat Ingin Jadi Penikmat


POLITIK memang gurih. Profesi ini banyak mengubah banyak orang, dari bukan apa-apa menjadi berharga. Terkenal, berpengaruh dan berkantung tebal. Boleh jadi ini pula yang membuat Indra Jaya Piliang, pengamat politik CSIS, hijrah ke dunia politik. Idra memilih menjadi politisi. Ingin jadi penikmat?

Kini Indra tercatat sebagai calon anggota DPR RI Nomor Urut 2 dari Partai Golkar. Indra dipasang di Daerah pemilihan Sumatera Barat 2 yang meliputi Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten 50 Kota, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat.

Menilik ucapan-uvcapan dan goresan pena Indra, putra Minang ini sejatinya memasuki dunia hingar bingar politik karena ingin menegakkan prinsip-prinsip politik yang benar. Dan kini ia sibuk berkampanye. Bahkan, selain sebagai Caleg, Indra juga terpilih sebagai juru debat Partai Golkar oleh Tim Kajian Strategis dan Pencitraan Bappilu Partai Golkar.

"Telah enam bulan saya berjalan. Berpidato di banyak tempat, berdiskusi dengan beragam lapisan masyarakat, mencoba melawan arus politik lama yang penuh dengan permintaan atas uang, sembari mencoba cara sendiri untuk menunjukkan apa itu politik," kata Indra menyampaikan kesannya. 

Indra bilang tak pernah takut gagal. "Ketakutan utama saya adalah generasi muda di bawah saya nanti tetap terbelit dengan metoda peraihan kekuasaan politik dengan jalan-jalan pintas." 

Indra tidak memikirkan keberhasilan. Setiap hari adalah bagaimana mengontrol hati, pikiran dan perasaan, dalam menghadapi beragam bentuk perseteruan politik. "Saya meniti lagi arus deras politik dan mencoba untuk tidak tenggelam. Mungkin, ada banyak yang terkejut dengan kehadiran saya di dunia politik, baik di kampung atau di tempat lain," katanya. 

Indra menyatakan; "Saya berani mengatakan 'Tidak!' kepada bentuk-bentuk permintaan yang tidak masuk akal."  

Ia mengaku mendapat dukungan dari kalangan pemuda. Mereka menjadi sangat militan. Cara berpikir mereka berubah atas tujuan-tujuan hidup dan politik. "Saya tidak menyangka bisa menyaksikan diskusi terjadi di kalangan adik-adik yang tidak tamat SMA, tamat SMA sampai baru mulai menyelesaikan kuliahnya. Saya tercengang dengan kemampuan mereka menghadapi dan menganalisa keadaan," katanya.  

Menurut Indra, pertarungan politik adalah bagaimana ide-ide lama ditolak dan ide-ide baru diterima. "Maka saya tidak melihat siapa yang bicara, tetapi apa yang dia bicarakan. Boleh saja usianya tua dan mengaku berpengalaman dalam politik, tetapi ketika orang itu tidak juga bersedia menerima ide-ide baru yang lebih genuine, bagi saya orang itu layak untuk hanya ditemui sesekali," katanya.  

"Tidak banyak yang saya pikirkan lagi," kata Indra. "Kecuali agar adik-adik ini menemukan ritme yang tepat dalam memikirkan masa depan buat mereka sendiri." 

"Enam bulan yang singkat," kata Indra lagi. "Ya, mungkin anda berpikir saya tidak peduli dengan terpilih atau tidak. Tidak. Tentu saya ingin terpilih. Yang saya harapkan, perubahan yang sedikit demi sedikit itu berlanjut, sehingga bangunan generasi baru yang matang untuk menjalankan kehidupan di masyarakat, bangsa dan negara ini benar-benar siap." 

Makanya, kata Indra; "saya tidak terlalu berpikir tentang siapa yang menjadi presiden dan wakil presiden tahun 2009-2014 ini. Yang layak dipikirkan adalah munculnya pembaruan dalam proses suksesi tahun 2014, tahun 2019, tahun 2024 dan seterusnya."  

Pulang Kampung
Indra hijrah ke dunia politik sejak 6 Agustus 2008. "Saya menjadi satu di antara puluhan ribu politisi yang mencoba melakukan sesuatu, sesedikit apapun".  

Indra kini pulang kampung, ke Sumatera Barat, setelah 17 tahun merantau. Kali ini, barangkali bukan menyandang prediket intelektual, tetapi politisi yang baru belajar menjadi politisi.  


Tentang Indra 
Indra Jaya Piliang lahir di Pariaman, Sumatera Barat, pada 19 April 1972. Indra adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Boestami dan Yarlis. Sang ayah, bergelar Datuak Nan Sati. Suku ayahnya Koto. Sang ibu, Yarlis dari suku Piliang. 

Koto dan Piliang adalah rumpun suku utama di Minangkabau. Lareh Koto Piliang adalah sistem sub-budaya dalam budaya Minangkabau yang didirikan oleh Datuk Ketumanggungan, menganut sistem aristokrasi militeristik dalam pengambilan keputusan dan pemerintahan tempo doeloe.

Suami Faridah Thulhotimah ini memiliki dua orang putra, Afzaal Zapata Abhista (21 Juni 2003) dan Fadha Dang Sati Ababil (03 April 2008). 

Indra menamatkan kuliah di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selanjutnya ia meneruskan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 

Selama kuliah, ia aktif dalam Studi Klub Sejarah dan pernah menjadi Ketuanya. Pernah juga menjadi Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI dan pengelola Tabloid Ekspresi FS-UI. 

Di UI, Indra aktif pada majalah Suara Mahasiswa UI, Senat Mahasiswa UI, Senator Badan Perwakilan Mahasiswa UI, Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya dan pernah ikut latihan marching band Madah Bahana. Ia juga sempat menjadi redaktur pelaksana Surat Kabar Kampus Warta UI.

Sebagai aktivis kampus, Indra juga menjadi pendiri dan Sekjen Pertama Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia (IKAHIMSI) periode 1995-1997. Ia juga tercatat sebagai pendiri Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) bersama Ubaidillah, Henky, Danar, dll. 

Ia juga pernah tercatat sebagai Koordinator Wilayah A (Sumatera dan Jawa) Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Indonesia (FKSMI) yang dibentuk di Universitas Mulawarman, Samarinda, pada 1995. 

Dalam organisasi intra kampus, Indra juga sempat aktif di Forum Amal dan Studi Islam (Formasi) Fakultas Sastra UI, yakni sebagai Ketua Badan Pertimbangan (Majelis Syuro). Indra juga tercatat sebagai anggota dan pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok.

Dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan itulah Indra mendapatkan teman, sahabat dan juga musuh. Sebagai aktivis, ia bepergian ke pelbagai tempat, bersidang, berdebat dan merumuskan pikiran-pikiran khas kemahasiswaan. Begitulah. Dan tiba-tiba ia menemukan diri sebagai seorang penulis, peneliti dan analis, terutama untuk bidang-bidang politik. 

Namun, kecintaannya kepada kampung halaman dan sikap kritisnya atas kota, juga muncul dalam tulisan-tulisannya. Ia mulai menggeluti masalah-masalah Aceh dan Papua, bahkan juga tertarik mengeksploirasi Bali dan Riau. Dalam aspek yang lebih luas, ia meminati masalah-masalah yang berkaitan dengan otonomi daerah.

Ketika mahasiswa, ia dikenal memiliki sikap anti-kemapanan. Sesuatu yang dianggap kekiri-kirian atau kemerah-merahan. Tetapi ia juga dianggap kehijau-hijauan. Ia terkadang lebih suka disebut seperti semangka: hijau diluar, merah di dalam.lihat juga

Eggi: Dari Parlemen Jalanan ke Parlemen Beneran


oleh Miftah H. Yusufpati

GAGAL beberapa kali menjadi anggota legislatif melalui partai politik tampaknya membuat Dr. H. Eggi Sudjana, SH.Msi, memilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kini ia sibuk kampanye di daerah pemilihan Jawa Barat. 


Eggi pada 1999 tercatat sebagai pengurus Partai Bulan Bintang (PBB). Hanya saja, aktivis yang sering menyuarakan aspirasinya di jalanan ini, melalui demo, gagal ke Senayan karena kurang dukungan. Pada 2004 ia beralih ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kali ini, Eggi gagal lagi. Yah, gagal lagi, gagal lagi..!

Ini jelas mengecewakan, padahal Eggi sangat berkeinginan untuk mewakili daerahnya, Jawa Barat. Eggi ingin ikut andil dalam membenahi bangsa yang carut-marut ini. 

Boleh jadi inilah yang membuat Eggi tak memadamkan bara semangat untuk ke Senayan. Kini, Eggi bersiap menjadi senator. 

Dia bilang, tak tertarik lagi menjadi anggota DPR-RI. Ia memilih menjadi calon anggota DPD, karena ia ingin ikut membenahi lembaga DPD. "Peran DPD belum signifikan dan tidak menggigit," katanya, kepada KontekAja, suatu ketika. "Padahal DPD merupakan salah satu bagian penting dari Bangsa Indonesia. Nah, inilah yang harus dibenahi." 

Eggi tak tertarik lagi menjadi anggota DPR, lantaran citra lembaga ini sudah terpuruk di mata masyarakat. "DPR sudah tidak baik dan mekanisme rekrutmennya juga buruk, sehingga peluang untuk korupsinya tetap tinggi. Jadi saya tidak mau menambah deretan koruptor," katanya. "Sidang-sidang dapat duit dari ini, dari itu. Jadi kita susah menghindar. Kalau diperiksa akan kena semua." 

Jika terpilih, Eggi bercita-cita, memperjuangkan DPD melahirkan produk hukum. "DPD itu lembaga tinggi negara. Anggota DPD itu sekaligus juga anggota MPR. Maka pada sidang-sidang lima tahunan itu, kan, kita bisa membuat rumusan hukum. Bahkan bisa juga mengamandemen UUD juga."

Dia mengatakan, kewenangan DPD memang terbatas tapi dapat disiasati."Saya berpikir begini, ketika saya tidak punya kekuasaan saja berani melawan rezim yang sedang berkuasa, apalagi saya mempunyai kekuasaan."  

"Dalam arti, kalau takdirnya bagus, saya jadi Ketua DPD, misalnya, saya bisa memanggil Presiden. Pada setiap 16 Agustus, kan ada pidato kenegaraan oleh Presiden. Di situ ada kesempatan besar untuk memberikan masukan dan kritik. Bahwa Bapak Presiden harus begini, kalau nggak begini, mungkin akan terjadi pemberontakkan, misalnya karena saya wakil daerah. Nah, yang seperti ini tidak pernah tersuarakan oleh siapun. Ginandjar nggak sanggup, nggak bisa, karena dia track recordnya bukan aktivis." 

Menurut Eggi, yang utama kini adalah menciptakan hukum dengan aturan-aturan baru yang kondusif untuk mensejahterakan rakyat. Masalah kendala DPD dengan kewenangannya yang terbatas, bisa disiasati dengan melakukan berbagai manuver politik. 

"Manuver saya sebagai seorang aktivis, saya akan panggil Gubenur atau Kapolda, Nah, kalau dibilang ini kan nggak ada aturannya, justru nggak ada aturannya, kemudian saya melanggar apa? Jadi, ya, saya panggi aja. Kan, nggak ada aturannya" ucap Eggi Sudjana. 

Tiga Pilar
Mengenai amademen terhadap UUD 1945, menurut dia sudah tepat, karena itu prosedural. Tapi yang tidak dilakukan DPD saat ini adalah cara-cara seperti penyambung aspirasi rakyat dari daerah yang diwakilinya. Hal tersebut yang belum jalan. Mereka sudah duduk di DPD, kurang memperjuangkan daerahnya. Seharusnya kearifan lokal dari daerah itu yang dimunculkan.

"Saya Jawa Barat, maka saya akan bikin Jawa Barat daerah yang termaju. Nah, kalau DPD punya prinsip seperti saya, maka semua daerah di Indonesia tentu akan maju. Bagaimana agar termaju, maka akan dibuat kategori-kategori daerah termaju. Misalkan untuk hukum, ekonomi dan politik atau sebaliknya, semua itu dinilai. Seluruh komponen bangsa tidak bisa lepas dari tiga komponen ini."

"Argumentasi saya, ketika anda mau mengubah apapun, harus lewat kebijakan. Kebijakan bisa diambil melalui saluran politik. Setelah menjadi kebijakan, maka namanya menjadi hukum. Kemudian hukum menjaga ketertiban. Ekonomi adalah nadi hidup masyarakat semua. Kalau tidak diatur oleh tatanan hukum yang benar dan tidak melalui saluran politik yang benar juga, maka bisa terjadi chaos." 

Menurut Eggi, ketiga pilar ini harus menjadi simultan dan tidak boleh menjadi timpang. Dengan kata lain, dengan stabilitas politik yang bagus dan adanya kepastian hukum, maka ekonomi akan tumbuh dan berkembang.  

"Tiga kategori ini harus diukur pada setiap daerah. Termasuk hukum pidananya. Kenapa? Misalnya di Jakarta, kok, krimininalitasnya terus meningkat, tiap 4 jam sekali terjadi perkosaan, 2 menit sekali terjadi pencurian, mana perlu dipertanyakan peran polisi mengayomi dan melindungi masyarakat. Nah, ini saya panggil Kapolda," ungkap Eggi berapi-api. "Inilah fungsi DPD."

Jika terpilih nanti, kata dia, bila saat kunjungan kerja, ia akan menemui pejabat-pejabat daerah, seperti Gubernur, Kapolda, dan Bupati atau Walikota. Jadi, kata dia, tidak hanya secara formal, non formalpun bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat sebagai anggota DPD. 

"Atau saya inisiatif sendiri kunjungan. Saya akan datangi kantor Gubenur. Saya katakan kepada Gubenur bahwa saya wakil rakyat dari daerah sini. Mau begini-begini. Kenapa? Siapa yang nyalahi saya? Kalau saya disalahi, yang nyalahi itu yang paling salah, kan saya sedang membawa aspirasi masyarakat!" kata Eggi.

Banyak orang menyebut, pria kelahiran Jakarta, 3 Desember 1959 ini adalah tokoh yang multi dimensi. Selain sebagai Lawyer yang tangguh, ia adalah aktivis pergerakan. Ia juga politisi yang dikenal tegas dan tak segan-segan berseberangan dengan penguasa. 

Putra dari pasangan H. Sukarna dan Hj. Djudju Arsanah ini, juga tercatat sebagai dosen di beberapa Universitas. Lebih dari itu, ia adalah penulis buku yang sangat produktif.

Nama Eggi sempat menjadi “News Maker” saat mengungkap “Pemberian Mobil Jaguar kepada Kalangan Dalam Istana”. Berita ini sempat membawa sang aktivis ini harus diseret ke meja hijau dengan tentang Penghinaan terhadapa Presiden RI. Pada saat itulah ia justru mengajukan hak uji materil (judicial review) terhadap pasal penghinaan presiden itu ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, MK mencabut pasal 134 jo pasal 136 bis KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden RI dalam hukum Indonesia, yang sudah berumur 100 tahun.

Raja Demo
Lantaran seringnya berdemo, ada media yang memberi julukan pria Sumedang ini sebagai 'raja demo'. Dan Eggi memang sudah menjadi aktivis sejak masih bersekolah di SMP dengan mengikuti demostrasi Malari bersama dengan Hariman Siregar.  

Ia semakin terasah sejak memasuki bangku kuliah di falkutas hukum Univesitas Jayabaya. Mantan Ketua HMI Cabang Jakarta periode 1984-1985 ini juga termasuk menentang kebijakkan pemerintah ORBA pada tahun 1985 tentang penerapan azas tunggal Pancasila kepada seluruh organisasi massa. Ia juga tercatat sebagai ketua umum pertama PB HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), wadah anggota HMI yang menentang penerapan azas tunggal Pancasila) periode 1986 – 1988.

Lepas dari aktivis kemahasiswaan Eggi mendirikan PPMI (Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia). Dalam organisasi ini ia menjadi presiden pertama periode 1998 – 2003 & periode 2003 – 2005. Jabatan dia kini adalah Ketua Dewan Syuro PPMI.  

Selain itu, Eggi juga ikut mendirikan dan menjadi Wakil Ketua FOSI (Forum Studi Islam) di tingkat pusat.  

Pria yang menguasai dua bahasa asing, Inggris adan Jerman ini, sangat mementingkan pendidikkan. Setelah menamatkan di S-1 di falkutas hukum Universitas Jayabaya pada tahun 1985, ia juga menjalani sudi di Techniche Universeteit Berlin, Jerman 1990 – 1991 untuk study sosiologi.

Pada 1994, Eggi menyelesaikan pendidikan S-2 di IPB untuk program study PSL (Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan) lalu dilanjutkan S-3 di perguruan tinggi yang sama program study PSL. Eggi lulus S3 tahun 2004.

Dosen tetap FH UIKA Bogor sejak tahun 1987 ini juga mengajar di Universitas Sahid Jakarta sejak tahun 2003. Kini Eggi sedang dalam proses pengajuan untuk mendapatkan gelar Profesor.  

Sebagai intelektual, Eggi banyak menulis buku terutama yang berkaitan dengan masalah pemikiran Islam, penegakkan Hukum, HAM serta buruh dan lingkungan.

Di luar itu, pada 1995-1997, Eggi menjabat sebagai Ketua Depart LH & HAM di CIDES, juga pernah dipercaya menjabat sebagai Managing Partnerts di Law Firm HSJ (Hamdan, Sudjana & Januardi) dan Partners dari tahun 2000 – 2003.

Sejak Maret 2004, Eggi mendirikan Law Firm sendiri dengan nama “Eggi Sudjana & Partnet". 


Peran Keluarga
Eggi mengakui karirnya yang sekarang dapat tercapai antara lain berkat dorongan sang istri, Dr. Asmini Budiani. Menurut Eggi, wanita yang dinikahi 1984 ini sangat berperan dalam kehidupannya. Tidak hanya sebagai istri, sangistri, juga sebagai partner dalam perjuangan karier serta membina dan mendidik anak-anak.

Eggi adalah bapak dari 5 orang anak. Berikut adalah putra-putri Eggi itu.

1. Muhammad Alfath Tauhidillah, sekarang semester terakhir di FISIP – UI
2. Hizbullah Assidiqi, mahasiswa Falk. Hukum – UI
3. Atieqah Asysyahidah, mahasiswi di Falk. Kedokteran – Univ. Yarsi.
4. Yusuf Mukhlisin, siswa SMP 1 Bina Insani
5. Jihar Gifari, siswa SD Bina Insani

lihat juga

Jenderal Naga Bonar Berhenti Berpikir


"Jenderal, ku perintahkan kau berhenti berpikir. Kalau kau berpikir, aku pun ikut berpikir, pusing aku". 

Kalimat tersebut diucapkan aktor kawakan Deddy Mizwar, yang sering disapa Jenderal Naga Bonar, dalam logat batak yang kental. 

"Perintah" terhadap sang Jenderal tersebut diucapkan Deddy Mizwar bukan dalam sebuah akting film atau sinetron, tetapi dalam keadaan sadar tanpa rekayasa. 

Meski "jenderal" Deddy Mizwar gelar palsu yang hanya ada di film Naga Bonar, namun sang Jenderal yang diperintahkannya itu adalah jenderal asli berbintang dua yang pernah menjabat Asisten Terotorial (Aster) Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad). Dia tidak lain Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi. 

Belum sempat Saurip Kadi menjawab, "Jenderal Naga Bonar" kembali mengatakan, "Mulai saat ini, kau harus berbuat, bekerja untuk kesejahteraan rakyat!". Mendengar perintah tersebut, Saurip Kadi pun langsung menjawab, "Siap, Jenderal!". 

Peristiwa nyata tersebut terjadi ketika Deddy Mizwar bersama Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi menyatakan kesiapannya memimpin bangsa Indonesia dalam acara "Refleksi Politik Jenderal Naga Bonar" di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (27/2). 

Deddy Mizwar yang lahir di Jakarta, 5 Maret 1955, selama ini dikenal sebagai aktor senior dan sutradara kawakan. Saat ini ia tercatat masih menjabat sebagai Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional periode 2006-2009. 

Sejumlah film dan sinetron berkualitas pernah dihasilkannya bersama Production House (PH) yang didirikannya pada 1997, antara lain sinetron "Mat Angin", serial sinetron ramadhan "Lorong Waktu", "Demi Masa", "Kiamat Sudah Dekat", film "Ketika", film "Nagabonar Jadi 2", dan terakhir sinetron "Para Pencari Tuhan". Deddy Mizwar bertindak selaku produser sekaligus aktor dan sutradaranya. 

Julukan "Jenderal Naga Bonar" memang seolah tidak bisa lepas dari Deddy Mizwar karena perannya yang apik dalam film "Naga Bonar". 

Kini, menjelang pesta demokrasi 2009, tiba-tiba nama Deddy Mizwar muncul di kancah perpolitikan nasional. Tidak tanggung-tanggung, ia menyatakan kesediaannya memimpin bangsa Indonesia dan bertarung dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. 

"Selama ini saya tidak pernah bicara politik. Kalau sekarang saya bicara politik, tentu ada sesuatu yang mendorong saya. Kenapa? Karena ada yang salah `mengatur` negeri ini," kata Deddy Mizwar. 

Dalam pidato refleksi politiknya yang kerap diwarnai guyon dan celetukan segar itu, Deddy Mizwar mengatakan, pemerintahan demi pemerintahan telah berlalu, bahkan masa reformasi telah sepuluh tahun berjalan, namun masih menyisakan sekitar 40 juta orang yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. 

Pemerintah, lanjutnya, tidak banyak bertindak melayani rakyat dan rakyat seringkali pasrah menerima keadaan. "Ini pertanda penurunan kualitas budaya bangsa. Pembangunan tidak menyentuh hal-hal yang fundamental," katanya. 

Deddy pun mengkritik ketentuan perundangan yang tidak memberi peluang bagi calon presiden independen, serta ketentuan "parliamentary threshold" yang dikatakannya akan menghilangkan banyak suara rakyat yang memilih partai-partai kecil. 

"Ketentuan mengenai pengajuan capres hanya oleh parpol atau gabungan itu telah merampok kedaulatan rakyat. Kenapa menghalangi munculnya pemimpin baru yang memberi harapan kepada rakyat. Apa kata dunia?" katanya. 

Kalimat "apa kata dunia" yang menjadi ungkapan populer Jenderal Naga Bonar di film "Naga Bonar" itu kerap diucapkan Deddy Mizwar dalam pidatonya. 

Meski demikian, Deddy yakin masih ada partai pejuang yang akan mengusung capres yang memenuhi sejumlah persyaratan, seperti mempunyai solusi untuk menghentikan keterpurukan, punya paradigma baru tentang sistem kenegaraan, punya keberanian, punya integritas dan tidak bermasalah. 

"Kalau pemimpin bermasalah, jangankan memikirkan rakyat, menyelamatkan diri sendiri saja repot. Karena itu, Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi dan saya, `Jenderal Naga Bonar` siap mengembalikan kedaulatan rakyat dengan mengutamakan rakyat," katanya tegas yang disambut tepuk tangan hadirin. 

Seperti tidak mau kalah dengan pidato "fenomenal" dan penuh canda dari sang Jenderal Naga Bonar Deddy Mizwar, Saurip Kadi yang mendapat giliran berpidato, tiba-tiba berdiri memberi hormat ala militer kepada Deddy Mizwar, yang meski sedikit kaget namun dengan sigap membalas hormat tersebut. 

"Saya harus memberi hormat, karena Bang Deddy Mizwar ini lebih tinggi pangkatnya, dia bintang empat, saya cuma bintang dua," katanya yang disambut tawa dan tepuk tangan orang-orang yang hadir dalam acara itu. 

Berbeda dengan Deddy Mizwar yang secara tiba-tiba menyandang gelar Jenderal dalam film Naga Bonar, Saurip Kadi dikenal sebagai prajurit TNI yang cakap dalam karirnya hingga menyandang gelar jenderal berbintang dua hingga pensiun. 

Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi lahir di Brebes, Jawa Tengah, 18 Januari 1951. Karir militernya sebagai perwira pertama dimulai di lingkungan Kodam V/Brawijaya yaitu di Batalyon Infantri 521 Kediri, dilanjutkan di Brigade Infantri 16 masing-masing di Kediri dan Korem 083/Malang. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR RI (1995-1997), Staf Ahli bidang Khusus Menhankam, dan terakhir sebagai Asisten Teritorial Kepala Staf TNI AD. 

Dalam pidatonya, Saurip Kadi menyebut sistem kenegaraan di Indonesia yang "semrawut" karena mencampuradukkan sistem presidensial dengan sistem parlementer. 

Ia juga berpendapat, dalam negara demokrasi seharusnya ada pemisahan antara negara dan pemerintah. 

"Ke depan, kita harus meninggalkan sistem yang semrawut ini. Kita harus menyusun sistem baru berdasarkan ciri bangsa, akal sehat dan budi luhur," kata penulis buku "Mengutamakan Rakyat" itu. 

Untuk itu, Saurip Kadi mengajak seluruh komponen bangsa untuk duduk bersama melakukan rekonsiliasi atau islah. 

Dalam acara tersebut, tampak hadir sejumlah pimpinan partai politik seperti Partai Buruh, Partai Pemuda Indonesia, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia. 

Sulit Bersaing 

Deddy Mizwar boleh-boleh saja menyatakan kesiapannya manjadi calon presiden, namun perlu mempertimbangkan berbagai hal seperti kemungkinannya untuk maju dengan dicalonkan oleh partai politik. 

Pengamat politik dari Universitas Paramadina Bima Arya Sugiarto mengatakan, tingkat popularitas Deddy Mizwar memang lebih tinggi dibandingkan para artis lain namun niatnya untuk maju bertarung di pemilihan presiden akan terkendala waktu dan faktor prinsip yaitu partai pendukungnya. 

"Pertanyaannya bisa `nggak dalam waktu yang singkat ini, partai-partai kecil yang mendukungnya berpacu dengan waktu memperoleh dukungan suara untuk memajukan Deddy," ujarnya. 

Bima menilai, kesiapan Deddy Mizwar itu tergolong terlambat, meski gagasan yang diusungnya juga penting. 

Menurut dia, modal popularitas Deddy sebenarnya bisa digunakan untuk membuat capres dari partai besar melirik peluangnya menjadi cawapres. 

Senada dengan itu, pengamat politik LIPI Syamsuddin Haris juga memperkirakan Deddy akan sulit untuk bersaing dengan calon presiden yang lain, kecuali jika ia bertarung dalam pemilihan kepala daerah. 

"Kalau Pilkada ada calon independen, sedangkan capres butuh dukungan partai politik dan minimal 20 persen kursi sesuai UU Pilpres. Kalau partai yang mendukung tidak signifikan bagaimana?," katanya. 

Jika hanya mengandalkan popularitas, nampaknya perjalanan politik Jenderal Naga Bonar masih akan mengalami banyak kendala untuk bisa memimpin bangsa Indonesia.